Pandemi COVID-19 tidak menyurutkan semangat para pemulia tanaman untuk terus berkontribusi mewujudkan pertanian yang berkelanjutan. Diselenggarakan pada November 2021, Indonesian Breeder Award (IBA) kedua sukses menjaring lebih banyak nominator dengan kategori yang lebih beragam. Nugraheni Vita Rachma, Breeding Manager PT East West Seed Indonesia (EWINDO), membagikan pengalamannya sebagai salah satu pemenang IBA II, tentang menghidupkan harapan melalui inovasi di tengah pandemi.
-96782-20251111082256.jpeg)
IBA 2021 digelar saat pandemi. Ceritakan pengalaman Ibu mengikuti ajang tersebut dalam situasi yang penuh keterbatasan itu.
Waktu pandemi Covid, rasanya dunia melambat. Semua seolah berhenti sejenak. Tapi buat kami para pemulia, kami tidak bisa berhenti. Justru saat itulah kami harus tetap berkarya, supaya petani bisa terus menanam varietas terbaik dan masyarakat tetap punya akses pada pangan bergizi. Mengikuti IBA 2021 di tengah situasi itu rasanya campur aduk, tapi juga sangat membanggakan. Karena di masa sesulit itu, profesi pemulia masih bisa memberi arti. Bagi saya, penghargaan ini untuk para petani yang menjadi inspirasi, sekaligus untuk para pemulia muda –terutama perempuan— agar tetap semangat berkarya, dalam situasi apa pun.
Dari varietas yang diikutsertakan, bisa diceritakan varietas apa yang Ibu kembangkan dan apa keunggulannya bagi petani?
Yang pertama adalah WARANI F1, tomat dataran tinggi yang tahan terhadap Late Blight atau busuk daun dan buah. Penyakit ini menjadi momok bagi petani saat musim hujan, menyebabkan daun dan buah membusuk sebelum panen. Tapi dengan WARANI, petani bisa mengurangi penggunaan pestisida, tanaman tetap hijau sehat, buahnya tidak busuk, panen bisa melimpah. Artinya, lebih hemat biaya dan hasilnya juga lebih stabil.
Yang kedua adalah varietas terong ungu hibrida, YUVITA F1, yang tahan terhadap virus Gemini (GV). Biasanya kalau tanaman terserang GV, daunnya jadi kuning karena zat hijau berkurang, fotosintesis terganggu, sehingga bunga banyak yang rontok dan buahnya sedikit. Tapi dengan YUVITA F1, tanaman tetap hijau segar, bunga tetap jadi buah, panen tetap berlimpah dan stabil walau ada tekanan virus di lapangan. Ketahanannya ini juga membuat petani tidak perlu terlalu sering menyemprot insektisida untuk mengendalikan kutu kebul, vektor pembawa virusnya.
Bagi saya, kedua varietas ini adalah bentuk nyata bagaimana kerja pemulia bisa membantu petani bertahan di kondisi sulit – dengan varietas yang lebih kuat, lebih efisien, sehingga lebih menguntungkan.
Apa arti penghargaan Indonesian Breeder Award (IBA) bagi Ibu secara pribadi maupun profesional?
Bagi saya, Indonesian Breeder Award bukan sekadar trofi, tetapi pengakuan atas dedikasi para pemulia yang bekerja di balik layar demi ketahanan pangan negeri. Ini menjadi dorongan moral untuk terus berinovasi dan menghadirkan varietas yang menjawab kebutuhan petani dan pasar, bahkan di tengah situasi sulit seperti pandemi.
Lebih dari itu, penghargaan ini menegaskan bahwa karya pemulia benar-benar nyata manfaatnya — menyejahterakan petani, membantu mereka menghadapi tantangan musim dan penyakit, serta mendukung kemandirian pangan Indonesia. Saya seperti diingatkan kembali bahwa profesi pemulia adalah ujung tombak inovasi benih, yang bukan hanya menghasilkan varietas unggul, tetapi juga menjaga harapan dan masa depan pangan bangsa.
Dalam pandangan Ibu, bagaimana peran seorang pemulia di masa depan — terutama di tengah perubahan iklim dan teknologi yang semakin cepat?
Peran pemulia di masa depan justru akan semakin penting. Di tengah perubahan iklim yang tidak menentu, pertumbuhan populasi, keterbatasan lahan, dan dinamika pasar yang cepat, pemulia harus mampu menghadirkan varietas yang adaptif, efisien, dan berdaya saing tinggi.
Perkembangan teknologi juga membuka peluang besar—seperti marker-assisted selection, digital phenotyping, dan analisis data berbasis AI—yang memungkinkan proses seleksi dan pengambilan keputusan dilakukan lebih cepat. Teknologi-teknologi ini membantu kita mengenali potensi genetik tanaman dengan lebih akurat dan tepat sasaran.
Apa pesan atau harapan Ibu untuk generasi muda yang ingin menekuni bidang pemuliaan tanaman, serta untuk penyelenggaraan IBA 2025 mendatang?
Saya berharap semakin banyak generasi muda, khususnya perempuan, yang tertarik menekuni pemuliaan tanaman. Anak muda punya semangat bereksperimen dan kemampuan beradaptasi dengan teknologi — hal yang sangat dibutuhkan bukan hanya untuk menjawab tantangan pertanian hari ini, namun juga masa depan. Jadi, harapan akan keberlangsungan ketahanan pangan Indonesia ada di pundak para pemulia muda ini.
Indonesian Breeder Award perlu terus dilanjutkan sebagai wadah apresiasi sekaligus inspirasi bagi para pemulia di Indonesia. Lewat ajang ini, kita menunjukkan bahwa karya pemulia tidak berhenti di laboratorium, tapi hidup di lahan petani — membantu mereka menghadapi perubahan musim, penyakit, dan dinamika pasar. Bagi saya, petani adalah sumber inspirasi utama. Tanpa mereka, pemulia tidak akan pernah tergerak.
Mengusung tema “Breeding is Giving”, IBA III akan diselenggarakan pada 19 November 2025. Dipersembahkan oleh PERIPI, IPB University, dan EWINDO, ajang ini merupakan bentuk apresiasi bagi para pemulia tanaman—mereka yang berkontribusi nyata bagi kesejahteraan petani, dan keberlanjutan pertanian Indonesia.
Informasi selengkapnya tentang IBA 2025, silakan klik:
INDONESIAN BREEDER AWARD 3 DAN SEMINAS PERIPI 2025 | PERIPI – Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia